KPU Dalam Pusaran Opini dan Isu
Oleh : Wage Wardana (KPU Kota Jakarta Timur)
Isu Pemilu Serentak 2019
Pemilu serentak pertama kali yang digelar pada 2019 tentu membawa banyak perubahan, setiap perubahan tentu akan menimbulkan efek kejut, seperti hukum newton III menyatakan bahwa setiap ada aksi pasti ada reaksi. Begitu juga dengan KPU, semenjak era reformasi bergulir, KPU terbiasa melakukan penyelenggaraan bertahap, dimana pemilihan umum legislatif diselenggarakan terlebih dahulu, selepas itu pemilihan presiden kemudian. Namun, tahun 2019 adalah momentum perubahan, dimana KPU melangsungkan kedua pemilu tersebut secara bersamaan. Hal tersebut tentu membuat efek domino, baik pada payung hukum, anggaran, SDM, jadwal, dan hal lainnya terkait penyelenggaran pemilu.
Hal lain yang harus diantisipasi oleh KPU adalah isu terkait segala hal kebijakan yang dikeluarkan oleh KPU. Hanya sebagai pedoman, pengertian isu menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah 1) masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi dan sebagainya), 2) kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya; kabar angin; desas-desus;. Mengacu pada PKPU 5 Tahun 2017 terkait Program, Tahapan, dan Jadwal dan disempurnakan oleh PKPU nomor 32 tahun 2018, semenjak tahapan pemilu serentak dimulai, pada tanggal 17 Agustus 2017, KPU banyak menerima, merespon dan mengcounter Issue.
Isu-isu krusial yang mulai KPU tentu terkait kebijakan yang dikeluarkan. Isu pertama yang mencuat adalah terkait Sistem Informasi Keanggotaan Partai Politik (Sipol), Sipol pada masa pendaftaran partai politik sangat menyita perhatian publik. Berbagai kritik terkait Sipol KPU baik dari calon peserta pemilu, maupun pengawas pemilu adalah terkait Server, kroscek kegandaan, posisi Sipol yang layak menjadi pasal dalam UU Pemilu, bukan hanya dalam PKPU dan waktu yang dibutuhkan untuk Upload data keanggotaan kepada Sipol tersebut, hal tersebut menjadi salam pembuka terkait kinerja KPU. Syukurlah Sipol akhirnya menjadi solusi buat partai politik dan stakeholder terutama mengenai pemetaan kader bagi partai, dan akurasi data buat stakeholder.
Isu lain yang sangat menggemparkan masyarakat adalah Statement Timses Prabowo-Sandiaga yang mempertanyakan adanya data 31 juta penduduk yang diserahkan oleh Kemendagri kepada KPU selepas penetapan Daftar Pemilih Tetap. Hal tersebut diungkapkan pada tanggal 17 Oktober 2018. KPU secara resmi menyatakan bahwa data tersebut didapatkan setelah membandingkan DPT KPU yang berjumlah 185 juta, apabila dibandingkan dengan DP 4 Kemendagri yang berjumlah 196 Juta terdapat 31 juta data yang belum klop. Akhirnya berdasarkan kesepakatan data tersebut diverifikasi kembali dengan cara menelusuri lewat system informasi data pemilih dan verifikasi data pemilih. Verifikasi dilakukan melalui dua cara, yaitu verifikasi melalui sanding data KPU dengan SIAK Kemendagri, serta verifikasi lapangan. Hasilnya muncullah penyempurnaan DPT yang kini berjumlah 192.828.520 orang.
Isu lain yang menyita perhatian publik adalah mengenai kotak suara kardus. Medio Desember isu ini mulai mengemuka di linimasa media sosial. Pihak-pihak yang mempertanyakan kardus buat kotak suara mempertanyakan beberapa hal, diantaranya adalah rawan adanya manipulasi, security system mengenai pengamanan surat suara dalam kotak, dan kepatutan. KPU secara resmi menyatakan bahwa penggunaan kotak suara transparan dan berbahan karton duplex (baca: bukan kardus) adalah kesepakatan bersama antara KPU, Bawaslu dan Pemerintah beserta komisi II DPR, bahkan semua fraksi melakukan mufakat. Hal lain yang perlu diluruskan terkait opini rakyat adalah penyebutan kardus, padahal kotak surat suara tersebut adalah karton berbahan duplex yang kedap air. Mengenai kepatutan, ada dua hal yang bisa menjadi jawaban, yaitu adanya kesepakatan bersama dan daya tahan kotak yang terbukti bisa menahan bobot manusia hingga 80 kg.
Kabar heboh lain adalah adanya isu surat suara tercoblos. Berita ini sangat menggemparkan. Tahun baru diwarnai dengan isu baru yang menerpa KPU. Kabar mengenai adanya surat suara yang sudah dicoblos dalam 7 kontainer berawal dari adanya rekaman suara yang beredar di group WA yang kemudian diikuti adanya permintaan konfirmasi oleh Andi Arief melalui cuitan di twitter pada 2 Januari 2019. KPU, Bawaslu dan pihak terkait melakukan kroscek ke Tanjung Priok dan hasilnya tidak ditemukan adanya 7 kontainer yang memuat surat suara yang sudah dicoblos. Faktanya, KPU RI saja baru melakukan validasi surat suara pada 4 Januari 2019. Kesimpulan kabar tersebut adalah hoax.
Isu lain yang menerpa KPU tentu saja banyak dan tergolong semua dimulai dari adanya isu massif dilinimasa media sosial. Isu lain diantaranya adalah orang dengan gangguan jiwa bisa memilih dan kisi-kisi debat pilpres yang dibocorkan. Hal-hal tersebut tentu saja berpotensi mendelegitimasi KPU sebagai lembaga Negara yang mendapat amanah melakukan penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Opini Publik Terhadap KPU
Terpaan isu yang terus menerus tentu akan berdampak kepada opini dan pandangan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilihan umum yaitu KPU. Eksistensi KPU sebagai pengemban amanah undang-undang tentu akan mendapat feedback berupa pro dan kontra maupun tingkat kepercayaan publik. Berbagai isu tersebut mempunyai dampak berbeda kepada KPU. Hal tersebut sangat dimaklumi, karena setiap isu akan memberi pengaruh berbeda walau ditujukan kepada institusi yang sama.
Menyitir hasil survey yang dilakukan oleh Tim Litbang Kompas kepada 527 responden pada tanggal 9-10 Januari 2019 melalui sambungan telpon, hasil survey tersebut akan memberi gambaran refresentatif publik terhadap KPU. Survey tersebut yang akan menjadi pijakan opini publik terhadap KPU. Responden terdiri dari 5 Cluster, yaitu pengguna media sosial, penonton televise, pembaca Koran, pembacara berita online, dan pendengar radio. Sangat representative untuk mendapat gambaran utuh dan proporsional dari public.
Mengenai isu 31 juta pemilih siluman yang rame di media sosial, publik memberikan gambaran jawaban sebagai berikut; pengguna media sosial menyatakan 27.1 % percaya terhadap isu tersebut, 65.7 % tidak percaya adanya isu tersebut dan 7.2 % menyatakan tidak tahu. Penonton televise menyatakan bahwa 23.2 % menyatakan percaya isu tersebut, sebanyak 63.3 % menyatakan tidak percaya dan sebanyak 13.5 % menyatakan tidak tahu. Pembaca Koran merespon lain, 18.8 % percaya isu tersebut, 68.8 % tidak mempercayainya dan 12.4 % menyatkan tidak tahu. Pembaca berita online menyatakan 18.4 % percaya isu tersebut, sebanyak 75.5 % menyatakan tidak percaya dan 6.1 % menyatakan tidak tahu. Â Segmen lain yaitu pendengar radio member tanggapan bahwa 16.7 % percaya dan 83.3 % menyatakan tidak percaya. Artinya secara umum publik mempercayai isu sebanyak 20.84 %, tidak mempercayai isu 71.32 %, dan publik tidak tahu adalah 7.84 %. Artinya KPU masih mendapat kepercayaan public terkait adanya isu tersebut.
Tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap isu dari publik adalah mengenai surat suara yang tercoblos. Pengguna media sosial yang menyatakan tidak percaya terhadap isu adalah 81.4 %, sebanyak 12.9 % menyatakan percaya dan sebanyak 5.7 % menyatakan tidak tahu. Penonton televisi menyatakan 13.2 % menyatakan percaya terhadap isu tersebut, sebanyak 80.2 % menyatakan tidak percaya dan 6.6 % menyatakan tidak tahu. Pembaca Koran menyatakan bahwa 12.5 % menyatakan percaya isu tersebut dan 68.8 % menyatakan tidak percaya dan 18.7 menyatakan tidak tahu. Pembaca berita online memberi respon bahwa 16.3 % menyatakan percaya terhada isu tersebut, 75.7 % menyatakan tidak percaya dan 8 % menyatakan tidak tahu. <em>Cluster </em>terakhir menyatakan tidak percaya sebanyak 83.3 % dan 16.7 menyatakan tidak tahu. Akumulasi persepsi adalah 10,98 % menyatakan percaya adanya isu tersebut, 77,88 % menyatakan tidak percaya adanya isu tersebut dan 11,14 % menyatakan tidak tahu.
Salah satu isu yang menyatakan kepercayaan tinggi terhadap isu adalah terkait isu kotak suara kardus. Pengguna medsos sebanyak 60 % menyatakan percaya adanya isu tersebut, 38,6 % menyatakan tidak percaya dan 1.4 % menyatakan tidak tahu. Penonoton TV relative berimbang, dimana pihak yang menyatakan percaya adanya isu tersebut adalah 48.7 % sedangkan pihak yang menyatakan tidak percaya adalah 47.1 % dan sebanyak 4 % menyatakan tidak tahu. Pembaca Koran berimbang, yaitu pihak percaya dan tidak percaya sama-sama mendapatkan 50 %. Pembaca berita online menyatakan 55.1 % menyatakan percaya dan 44.9 menyatakan tidak percaya, terakhir pendengar radio menyatakan percaya 33.3 %Â dan 66.7 % tidak percaya. Kesimpulan akhir adalah 49.42 % percaya isu tersebut dan 49.5 tidak percaya isu tersebut, dan sisanya 1.08 menyatakan tidak tahu.
Kesimpulan secara umum adalah terdapat beberapa poin, yaitu publik menilai berbeda terhadap setiap isu, hal lain adalah adanya tingkat kepercayaan tertinggi public terhadap isu adalah terkait kotak suara yang mencapai 49.42 %, sedangkan tingkat ketidakpercayaan tertinggi publik terhadap isu adalah mengenai surat suara yang sudah tercoblos. Hal ini tentu menarik untuk menjadi bahan evaluasi kinerja KPU kedepan, selain dituntut adanya peningkatan terhadap Counter Issues yang harus disiapkan oleh KPU, tentu berbasis data dan realitas. Namun, dalam survey disebutkan bahwa publik percaya bahwa KPU akan bekerja secara independen dan professional sebanyak 72.9 %, tidak percaya sebanyak 22.8 % dan tidak tahu sebanyak 4.3 %.
Pandangan Terhadap Isu
Penulis melakukan refleksi dan pandangan mengenai adanya isu-isu yang menerpa KPU dan jajarannya. Hal pertama yang mengemuka mengenai adanya isu tersebut adalah konsolidasi internal mengenai perangkat hukum yang harus lebih <em>clear </em>dan lebih berkepastian hukum. Terkait Sipol dan terkait proses pencalonan legislatif, kedepan KPU sepertinya harus mempertimbangkan bahwa Sipol dan syarat pencalonan harus menjadi bagian dari UU Pemilu, bukan hanya masuk dalam PKPU.
Hal lain mengenai isu tersebut adalah berimplikasi pada meningkatnya konsolidasi internal SDM KPU sampai jajaran dibawahnya. Berkat adanya isu, soliditas di KPU semakin meningkat, semua jajaran dan level KPU bersatu untuk menyuarakan satu jawaban dan pernyataan terkait respond an jawaban. Bahkan mulai dibentuk tim Cyber KPU dengan tujuan menangkal berita hoax dan berita lain yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Isu juga menjadi alat ukur untuk menilai soliditas dan kesiapan SDM KPU, apabila KPU berhasil melewatinya dengan baik, maka soliditas dan kesiapan SDM nya teruji dan mempunyai kompetensi serta integritas yang sesuai dengan UU pemilu. Hal tersebut menjadi keuntungan tersirat KPU untuk menunjukkan kepada public bahwa KPU secara umum berkompeten dan berintegritas.
Konklusi
Kesimpulan terkait opini ini adalah, adanya perubahan dari KPU terkait penyelenggaran Pemilu, dimana biasanya Pileg dan pileg dan pilpres dilaksankan berbeda waktu, namun untuk tahun 2019 KPU melakukan inovasi yaitu menyelenggarakan dua kegiatan tersebut secara serentak. Perbedaan dan kebaruan tersebut berimpikasi pada penyiapan peraturan, SDM dan anggaran. Hal tersebut kemudian menimbulkan berbagai isu yang berkembang, seperti eksistensi Sipol, 31 juta pemilih siluman dan lain-lain.
Opini publik kemudian menjadi indikator resmi untuk menjawab pertanyaan terkait isu-isu tersebut. Opini publik tertinggi adalah terkait isu kotak suara kardus yang menyentuh angka 49.42 %, masyarakat percaya akan isu tersebut, namun ketidakpercayaan masyarakat tertinggi adalah terhadap isu surat suara yang tercoblos, public menyatakan tidak percaya sebanyak 75.7 % dan menyatakan percaya sebanyak 16.3 %. Hal lain adalah publik masih percaya kinerja KPU sebanyak 72.9 %, tidak percaya sebanyak 22.8 % dan 43.3 % menyatakan tidak tahu.
Isu tersebut kemudian memberikan ruang untuk KPU melakukan konsolidasi internal untuk memperkuat kepastian hukum produk KPU, selai itu isu memperkuat soliditas KPU, bahkan membuat KPU akhirnya menyadari kebutuhan mengenai tim Cyber, dan ajang untuk menyampaikan pesan kepada publik bahwa KPU Independent dan Profesional.
15 Sep 2022
Share
Recent Comments
No comments
Leave a Comment