Minggu (16/8), Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengadakan rapat pleno penetapan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP). Pada rapat pleno, KPU RI menjelaskan upaya tindak lanjut rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik yang menghendaki penyempurnaan terhadap DPT Pemilu 2019 selama sepuluh hari. KPU telah menghapus data pemilih ganda dan nama penduduk yang sudah tak memenuhi syarat (TMS) sebagai pemilih, serta memasukkan nama penduduk yang memenuhi syarat (MS) sebagai pemilih ke dalam DPTHP.
“Setelah tanggal 5 September, kami bertemu antara KPU Bawaslu dan partai politik sebanyak empat kali di tingkat pusat. Mulai tanggal 6 September, 10, 12, dan terakhir tanggal 14. Empat kali pertemuan tersebut untuk mengkoordinasikan pergerakan dan perubahan dari dugaan yang disampaikan,” kata anggota KPU RI, Viryan, pada rapat pleno di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat.
Berdasarkan hasil pencermatan, DPT Pemilu 2019 berkurang dari 185.732.093 pada penetapan tanggal 5 September 2018, menjadi 185.084.629 pada 16 September 2018. 647.464 data ganda berhasil dihapus.
Terhadap DPTHP yang disampaikan, Bawaslu dan partai politik merekomendasikan agar KPU kembali melakukan pencermatan. Bawaslu dan partai politik yang hadir, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat, masih melihat sejumlah masalah. KPU diharapkan membangun kesepakatan dengan Bawaslu dan partai politik mengenai metode analisis kegandaan pemilih dan jumlah pemilih ganda.
“Metodologi yang kita pakai ini menurut hemat kami, agar kurang pas. Antara yang dikerjakan oleh Tim teknis partai politik dengan Tim teknis KPU dan Bawaslu, tidak seiring. Jadi, mau kita itu, kita bongkar kegandaan pemilih ini dengan data yang sama di KPU. Kita kan harus bersepakat dulu, berapa angka potensi sebenarnya,” ujar perwakilan dari Partai Gerindra.
Bawaslu RI meminta salinan lampiran Berita Acara penetapan DPTHP oleh KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berisi data by name by address pemilih. Pasalnya, meskipun pencermatan diakui dilakukan secara bersama-sama, tetapi penginputan data pemilih melalui Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) dioperasikan oleh Tim teknis KPU.
“Kalau dulu sebelum penetapan DPT, kami mendapat nama by name by address per provinsi. Sebagian besar sudah kita dapatkan sehingga kita bisa mengecek posisi data-data ini. Nah, situasi sekarang, mayoritas provinsi, pasca penetapan pleno DPTHP, belum memberikan data ke kami. Kuasa penginputan dipegang KPU. Kami butuh memastikan bahwa tidak ada masalah teknis yang menghambat daru sisi pasca pencocokan,” terang anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin.
Bawaslu merekomendasikan KPU untuk mengaudit Sidalih. Berdasarkan laporan pengawas di daerah, Sidalih tak efektif menghapus kegandaan data pemilih. Data yang telah dihapus oleh operator seringkali muncul kembali.
“Kami merekomendasikan agar Sidalih diaudit. Karena, di kabupaten/kota ini, banyak teman-teman KPU yang merasakan juga bahwa beban menginput di Sidalih bermasalah,” tukas Afif.
Atas rekomendasi berbagai pihak, termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), proses penyempurnaan DPTHP disepakati diperpanjang selama 60 hari. Bawaslu yang merekomendasikan perpanjangan waktu 20 hari mencatat, masih terdapat 765.796 data pemilih dengan informasi invalid dan 3.242.297 penduduk belum melakukan perekaman Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.
“Kalau dengar dari partai politik, DKPP mengusulkan untuk memperpanjang waktu perbaikan sehingga keluh-kesah dari peserta pemilu bisa direspon. Karena tidak ada gunanya buru-buru kalau masih ada masalah,” tandas anggota DKPP, Alfitra Salamm.
Sebagai masyarakat sipil, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mendorong agar KPU menyediakan DPT yang bersih dan konstitusional. KPU mesti bersikap progresif demi melindungi hak konstitusi seluruh warga negara untuk dapat terdaftar di DPT. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang setara tak boleh dibatasi oleh prosedur administrasi kepemiluan.
“KTP awalnya digunakan untuk fase pemungutan dan penghitungan suara. Tapi lalu bergeser menjadi syarat untuk masuk dalam daftar pemilih sebagaimana tertuang di dalam Pasal 348 Undang-Undang No.7/2017. Ini menjadi konsep melayani pemilih,” jelas Titi kepada rumahpemilu.org (17/9).
Morbi interdum mollis sapien. Sed ac risus. Phasellus lacinia, magna a ullamcorper laoreet, lectus arcu pulvinar risus, vitae facilisis libero dolor a purus. Sed vel lacus. Mauris nibh felis, adipiscing varius, adipiscing in, lacinia vel, tellus.
Daftar pemilih, menurut Titi, merupakan salah satu materi yang akan melegitimasi penyelenggaraan Pemilu. DPT mesti bersih, akurat, valid, dan komprehensif. Penyusunan DPT tak boleh meninggalkan pemilih tanpa KTP elektronik di wilayah-wilayah terluar dan terdalam, pemilih dari kelompok penghayat, pemilih di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), serta pemilih di lahan konflik, panti sosial, dan apartemen.
Leave a Reply