KelasPemilu.org – Samuel Huntington, pernah berkata bahwa Demokrasi hadir jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara. Secara parsial Abraham Lincoln menegaskan bahwa Demokrari merupakan system pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bisa kita simpulkan bahwa, Demokrasi merupakan kontra dari system aristocrat atau otoriteriat.
Indonesia sendiri mengenal Demokrasi sejak deklarasi kemerdekaan, kala itu Soekarno memilih redaksi atas nama “Bangsa Indonesia” yang berarti kemerdekaan yang dideklarasikan adalah dari,oleh,dan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Saat ini, Demokrasi yang terus berkembang di Indonesia harus diperhadapkan dengan tantangan yang cukup berat, yaitu Olirgarki
Oligarki cukup mengakar dan berkembang pesat melalui kapitalisme yang digerakkan oleh elit bangsa ini sebagai penyakit turunan dari rezim Orde baru.
Hal ini menjadi begitu kuat karena patronase – klientelistik.
Mereka menandai relasinya dengan distribusi logistic ( uang,sumber daya, atau akses kekuasaan). Pemilik kuasa mendistribusikan logistic ke klien, kemudian klien memberi dukungan politik ke penguasa tersebut. Relasi yang saling menguntungkan, karena itu pula mereka saling melindungi.
Dalam hal ini,pada era Orde Baru, Militer menjadi pelindung utama bagi para kapitalis yang melakukan praktek kong kalikong dengan penguasa.
Oligarki hidup sehat dari pola hubungan segitiga tersebut.
Jokowi yang kemudian dibungkus dengan kemasan sipil, hadir sebagaii wacana kontra oligarki.
Namun pada prakteknya kita semua menjadi saksi, atas apa yang dilakukan oleh Jokowi pasca memenangkan kontestasi pemilu 2019.
Tak lama setelah kembali mengemban jabatan sebagai orang nomor 1 di Indonesia, Jokowi langsung melakukan pembagian kue.
Jabatan politik/structural diberikan ke sejumlah pendukungnya, baik di kementrian/lembaga ataupun kabinet.
Terakhir, kita melihat bagaimana praktek oligarki masih nebeng di proses demokrasi.
Mencuatnya nama Gibran Rakabuming, anak Presiden Jokowi sebagai potensi calon kepala Daerah.
Bahkan parpol berebut untuk meminang anak sulung Presiden tersebut.
Selain itu ada nama Bobby Nasution, menantu Presiden tersebut diketahui akan maju sebagai calon Walikota Medan.
Demokrasi memang memberi hak setiap warga untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala Daerah diatas aturan dan mekanisme yang berlaku. Namun jika kedua orang tersebut benar-benar melenggang sebagai calon, maka hal ini makin memperkuat Politik Dinasti yang procedural, tentunya hal ini menghambat laju demokrasi itu sendiri.
Hal ini seakan mengembalikan kita ke era Orde baru, dimana posisi structural hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu dan menutup ruang bagi yang lain.
Sementara demokrasi wajib membuka ruang bagi setiap orang agar dapat berkompetisi dengan sehat dan mampu menempati jabatan-jabatan politik secara jujur dan adil.
Hal ini mengingatkan kita pada apa yang pernah diungkapkan Gaetano Mosca di Italia, bahwa Demokrasi merupakan Oligarki yang prosedural.
Try Sutrisno, Netfid Minahasa
Leave a Reply