Pidato Revolusioner 17 Agustus

Tanggal 17 Agustus selalu identik dengan euforia perayaan dan kesakralan seremoni. Ya, hari Itu merupakan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Momen yang oleh bangsa ini diabadikan tidak hanya dalam bentuk peringatan, tetapi telah menjadi bagian dari ritual kebangsaan.

Setiap tahunnya hampir seluruh penjuru Indonesia secara serentak mengekspresikan euforia nostalgia yang begitu meriah. Dalam bentuk lomba hingga seremoni dalan rangka memperingati kemerdekaan dengan melakukan upacara bendera. Dalam rangkaikan prosesi upacara tersebut para tokoh melakukan pidato, mulai dari pemerintah pusat, hingga ke pelosok negeri.

Seberapa besar pidato tersebut memberi efek perubahan ?

Sebagian besar mereka yang berpidato, hanya mengucapkan teks yang serupa, seperti kaset rusak yang diputar dan berulang dari tahun ke tahun. Pidato yang berputar-putar pada ucapan terimakasih, dibumbui sedikit cerita heroik dan patriotik.
Apakah pidato tersebut dapat memberi efek perubahan bagi bangsa ? Nyatanya apa yang mereka ucapkan tak lebih tak lebih semarak dibanding lomba para ibu-ibu PKK atau anak-anak yang berlompat dalam karung. Normatif,monoton,bahkan sebagiannya terasa kembar dengan wikipedia yang disajikan google. Semakin panjang pidato semakin sedikit yang fokus, membosankan, tak ada bentuk nyata dari ucapan terimakasih kepada pejuang, semakin sedikit rakyat yang mengikuti apalagi yang tersentuh nuraninya. Seolah demokrasi melahirkan pemimpin yang tak mengenal rakyatnya.

Pidato revolusioner

Tahun lalu, 2019 di momen perayaan yang sama, salah satu Gubernur di depan masyarakatnya ia berpidato. Kali ini pidato yang ia ucapkan terasa berbeda. Sebab dalam pidatonya ada aksi nyata dan revolusioner. Meski memulai dengan kalimat yang sama, memberi pujian dan apresiasi yang konkret pada seluruh pejuang bangsa. Salah satunya yaitu membebaskan pajak tanah dan bangunan di mana para pejuang tersebut tinggal. Artinya melalui kebijakan tersebut, generasi / ahli waris para pahlawan yang tinggal di daerah pemerintahannya tak perlu lagi terbebani dengan iuran pajak. Suatu kebijikan yang cukup berani karena imbas kebijakan tersebut tentu sedikit mempengaruhi pemasukan daerah. Tak pernah terfikirkan oleh siapapun, bahkan mungkin oleh ahli waris para pahlawan itu sendiri.

Dalam pidatonya, Gubernur tersebut mengatakan “Bukankah ironi, mereka para pahlawan berjuang untuk kita, mengusir penjajah dari tanah ini, namun mereka harus terusir dari rumahnya karena pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka? Perjuangan mereka adalah hutang budi yang bahkan kita tidak tahu dengan apa dan sampai kapan kita bisa melunasinya ?”

Saya tidak akan mengucapkan nama Gubernur tersebut, atau wilayah pemerintahannya, karena intinya bukan subjeknya. Melainkan bagaimana seorang pemimpin harus memiliki narasi yang terukur, konseptual dan kontekstual.

Konseptual dalam artian mempunyai basis pertimbangan yang matang. Kontekstual dalam arti sesuai dengan kebutuhan dan dapat melahirkan solusi atas problem yang dihadapi rakyatnya saat ini. Dengan kalimat sederhana, yang mudah dipahami oleh rakyatnya, dan langsung menyentuh bahkan merangkul rakyatnya dengan aksi nyata.

Lalu, seberapa bosan anda mendengar pidato 17 kemarin ? Cukup menghabiskan kuota ya untuk mendengar pidato yang sama ?

“Try Sutrisno – Netfid Kab. Minahasa”

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


3 × 4 =