Digitalisasi Pemilu, Efisiensi yang Masih Menjadi Kontroversi

Kelas Pemilu – Tak dipungkiri bahwa perkembangan teknologi dan informasi dengan kecepatannya di era digital dalam dua dekade terakhir telah membawa pengaruh yang esensial dalam berbagai bidang, termasuk dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Goldsmith mengemukakan bahwa hamper setiap negara pada decade terakhir telah memanfaatka teknologi untuk membantu lembaga penyelenggara pemilu menghasilkan pemilu yang berkualitas, dengan kata lain teknologi turut berkotribusi terhadap Demokrasi. Hal ini sejalan dengan riset International IDEA bahwa 106 Negara yang menjadi objek penelitian telah mengaplikasikan pemanfaatan teknologi dalam penyelenggaraa pemilu, seperti teknologi tabulasi dalam rekapitulasi perolehan suara, pendaftaran calon dan verifikasi pemilih, hingga e-voting (IDEA,2011). Bahkan India yang merupakan demokrasi terbesar di dunia telah memanfaatkan teknologi dalam pemilu sejak 1982, dan hingga kini India masih menggunakan mesin e-voting secara ekslusif untuk pemilu baik di tingkatan nasional maupun local. Beberapa negara lainnya seperti Filipina, Brazil,Belgia juga turut memanfaatkan teknologi dalam pungut hitung suara dalam penyelenggaraan pemilu. Negara-egara besar seperti Norwegia, Estonia, Kazakhstan, Rusia, Amerika, Nepal, dan Indonesia juga turut menggunakan teknologi pada beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu (Goldsmith;2011). Teknologi sebagai solusi untuk memangkas masalah seperti mengefisienkan beberapa tahapan pemilu membuat negara berbodong-bondong mengaplikasikannya dalam pennyelenggaraan pemilu (Alvarez et.al; 2011).

Meski demikian, dengan berbagai kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh tekologi, penggunaannya masih sering menjadi kontradiksi, khususnya dalam hal kredibilitas hasil pemilu (Russel and Zamfi;2018). Dalam hal keamanan misalnya, teknologi yang rentan akan serangan siber dan virus tentu menjadi sumber keraguan public, hingga dapat mempengaruhi kepercayaan pemilih. Sementara, kepercayaan merupakan salah satu aspek penting dalam pemilu. Seperti yang dikemukakan oleh Oostvee & Besselaar;2005  bahwa kelemahan dari teknologi tersebut membuat beberapa negara memutuskan kembali menyelanggarakan pemilu yang konvensional sebab mengalami kegagalan teknologi yag justru menimbulkan krisis kepercayaan dan berpotensi melahirkan konflik. Belanda dan Jerman merupakan salah dua contoh negara yang gaggal dalam menyelenggarakan pemilu berbasis teknologi, bahkan dianggap cacat sehingga keduanya kembali menyelenggarakan pemilu secara konvesional.

Dalam konteks pemilu di Indonesia, penyelenggaraan pemilu berbasis tekologi telah mencapai tingkatan pemanfaatan software seperti e-recap atau yang familiar dengan sebutan SITUNG( Sistem Penghitungan Suara). Seperti yang kita saksikan bersama, SITUNG telah diaplikasikan sejak pemilu 2014 hingga 2019 baik pada pemilu (nasional) maupun pilkada (local). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadikan e-recap sebagai salah satu strategi untuk mengontrol hasil suara sebagai upaya meminimalisir praktik kecurangan (electoral fraud). Proses rekapitulasi yang panjang dan berjejang kerap membuahkan kecurigaan public. Bahka pada pemilu 2019 silam, inkonsistensi yang ditimbulkan SITUNG sempat melahirkan opini bahwa teknologi SITUNG tidak akurat, hal ini yang kemudian menyebabkan turunnya kepercayaan pemilih terhadap KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu ( Djuyandi et. Al, 2019). Hal ini kemudian diperparah dengan massivnya berita palsu (hoax) serta isu negative yang turut berkontribusi menurunkan kepercayaan tersebut yang diikuti oleh aksi protes yang bermuara pada tindakan anarki. Media daring Tirto.id mencatat sedikitnya 9 orang meninggal, dan puluhan warga terluka serta sejumlah fasilitas public dirusak akibat aksi protes tersebut.

Dengan kata lain, pemanfaatan teknologi seperti SITUNG dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia masih menjadi kontroversial. Meski demikian, tak sedikit pihak optimis jika pemilu di Idonesia diselenggarakan berbasis teknologi (digital), dan hal ini terus menguat pasca putusan pemerintah untuk tetap melanjutkan penyelenggaraan Pilkada di masa Pandemi Covid-19. Salah satunya berangkat dari pakar digital Anthony Leong;2020. Ia mengutarakan bahwa pemerintah harus menetapkan peraturan totally digital dalam penyelenggaraan pilkada di tengah pandemic. Seperti yag diketahui, beberapa bulan lalu telah terbit PKPU 13 Tahun 2020 yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan Gubernur/Walkota/Bupati dalam masa pandemic. Dalam PKPU tersebut diatur juga larangan kampanye juga terkait pelaksanaan kampanye berbasis digital (daring). Tentu saja tak semudah yang dibayangkan,di mana kampanye yang merupakan moment untuk menyalurkan visi & misi serta gagasan untuk merebut simpati peserta pemilih dilaksanakan dalam bentuk terbatas atau melalui media dalam jarigan (daring). Indoensia yang terdiri dari beberapa pulau belum sepenuhnya telah terjangkau jaringan internet. Seperti yang dikemukakan oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Kominikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli melalui rilis Tempo bahwa sebanyak 12.548 desa di Indonesia belum tersentuh oleh sinyal Internet (2020). Belum lagi jika kita melihat dari sisi pragmatis peserta pemilih, yang mengalami krisis dihantam pandemic, akankah masyarakat rela mengeluarkan biaya kuota untuk mengakses kampanye yang dilaksaakan secara daring ? Diskursus ini patut terus diperbincangkan.

Try Sutrisno – Netfid Minahasa

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


seventeen − ten =