kelaspemilu.org – Belum lama ini, Bawaslu RI telah melaunching Indeks kerawan Pemilu (IKP). Sebelumnya pada bulan Februari lalu Bawaslu RI juga telah melaunching IKP hanya kali ini sedikit berbeda. IKP sendiri bertujuan sebagai alat ukur dan pemetaan awal tingkat kerawanan Pilkada 2020. Jika dilihat dari tujuannya tentu hal ini diharapkan dapat membantu kerja – kerja penyelenggara pemilu juga pemerintah dalam mendeteksi potensi kerawanan, agar pilkada berjalan sesuai prinsip pemilu.
Di dalamnya, IKP berisi beberapa dimensi yaitu, dimensi konteks sosial – politik, dimensi infrastruktur daerah dan dimensi konteks pandemi. Konteks pandemi inilah yang membedakan antara IKP yang di launching sebelumnya dengan yang sekarang. Selain itu ada juga dimensi kontestasi dan partisipasi yang masing – masing akan di launching pada bulan september dan desember.
Dimensi IKP itu pun memiliki indikator yang masih bisa di urai, Pertama, dimensi konteks sosial meliputi gangguan keamanan (bencana alam dan bencana sosial), kekerasan dan intimidasi pada penyelenggara. Kedua, konteks politik meliputi keberpihakan penyelenggara pemilu, rekruitmen penyelenggara pemilu yang bermasalah, ketidaknetralan ASN dan penyalahgunaan anggaran. Ketiga, konteks infrastruktur daerah meliputi dukungan teknologi informasi dan sistem informasi penyelenggara pemilu. Keempat, konteks pandemi meliputi anggaran pilkada terkait covid – 19, data terkait covid – 19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat dan hambatan pengawasan pemilu.
Dengan rating indikasi yang beragam di seluruh indonesia. Misalnya, dalam konteks pandemi ada 27 kabupaten/kota terindikasi rawan tinggi, 146 kabupaten rawan sedang dan 88 kabupaten/kota rawan rendah. Sedangkan di tingkat provinsi terdapat tiga daerah rawan tinggi, yaitu kalimantan selatan, kalimantan tengah dan sulawesi utara. lalu ada empat provinsi rawan sedang, yaitu sulawesi tengah, kalimantan utara, bengkulu dan jambi. Kemudian dua provinsi rawan rendah, yaitu sumatera barat dan kepulauan riau.
Terkait hal ini, Bawaslu RI pun mengeluarkan setidaknya lima rekomendasi : Pertama, memastikan penyelenggara, peserta, pendukung dan pemilih menerapkan protokol kesehatan dalam pelaksanaan tahapan verifikasi faktual calon perseorangan dan pemutakhiran data pemilih. Kedua, koordinasi para pihak dalam keterbukaan informasi terkait penyelengaraan pemilihan dan perkembangan kondisi pandemic covid – 19 di masing – masing daerah. Ketiga, memastikan dukungan anggaran penyediaan alat pelindung diri (APD) dalam tahapan pemilihan kepala daerah 2020. Keempat, menjaga kemandirian aparatur pemerintah dari penyalahgunaan wewenang dan anggaran penanggulangan covid – 19. Kelima, menerapkan penggunaan teknologi informasi yang sesuai dengan kondisi geografis dan kendala yang dialami oleh penyelenggara pemilu.
Patut diapresiasi ihtiar Bawaslu, setidaknya dengan adanya IKP sebagaimana uraian singkat di atas, kita bisa memiliki gambaran peta potensi kerawanan pilkada 2020 di depan.
Aspek Teknologi Informasi
Dalam catatan singkat ini saya akan coba menyoroti indikator teknologi informasi dan sistem informasi penyelenggara pemilu dalam dimensi infrastruktur daerah. Jika dicermati, indikator teknologi informasi yang ada di dalam IKP menunjukan angka yang mencemaskan. Dia masuk dalam kategori tingkat kerawanan yang tinggi. Sebagaimana disampaikan oleh Kordinator Divisi Pengawasan Bawaslu RI Muhammad Afiffudin dalam sebuah wawancara bahwa “pada konteks ini terdapat 114 kabupaten/kota rawan rendah, 117 kabupaten/kota rawan tinggi, tidak ada kabupaten/kota rawan rendah.”
Di tingkat provinsi malah lebih parah, ada 9 daerah yang tercatat masuk dalam kategori kerawanan tinggi, seperti Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tangah, Jambi, Kalimantan Tengah dan yang terakhir adalah Sulawesi Utara. tidak ada provinsi yang masuk kategori rawan sedang maupun rawan rendah. Artinya, hal ini penting mendapatkan perhatian yang serius mengingat tahapan Pilkada telah berjalan di tengah wabah covid – 19.
Pertanyaan besar kita selama ini adalah, bagaimana pelaksanaan pilkada bisa berjalan dengan kualitas yang baik dengan minimnya penjangkitan virus? Memang sulit membayangkan hal itu bisa terjadi. Sejauh ini, ada dua upaya yang dialakukan oleh penyelenggara pemilu : pertama, pengunaan protokol kesehatan saat dilapangan. kedua, merapid test seluruh jajaran penyelenggara pemilu. Akan tetapi, seberapa besar itu menjamin?
Kemarin saja saat menjalani rapid test, beberapa pengawas pemilu di tingkatan badan adhoc didapati memiliki hasil reaktif. Jika reaktif maka wajib menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Artinya, selama 14 hari kedepan pengawas pemilu kekurangan personil. dampaknya pada kerja pengawasan pemilihan praktis kurang maksimal, sementara tahapan sedang berjalan. itu baru satu kasus, bisa dibayangkan jika diberbagai daerah terjadi kasus yang sama, lalu bagaimana kualitas pemilihan bisa terwujud?
Saat ini, pilkada sedang pada tahapan verifikasi faktual calon perseorangan. Konon, untuk memverifikasi dukungan kepada orang yang sedang diisolasi di Rumah Sakit, akan dilakukan via daring lewat video call/conference, mungkin itu mudah apabila daerah tersebut memiliki fasilitas infrastruktur teknologi dan informasi yang menunjang. Bagaimana dengan daerah yang aksesnya sulit?. Khusus di Sulawesi Utara misalnya, ada tujuh daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi dalam dimensi infrastruktur daerah dengan empat kabupaten kota yang memiliki calon perseorangan.
Sebenarnya tantangan di atas bisa dimitigasi dengan memaksimalkan kemampuan teknologi serta sistem informasi penyelenggara pemilu yang baik. Itulah kenapa hal ini kemudian penting untuk diseriusi.
Memikirkan penambahan anggaran pilkada untuk pengadaan fasilitas kesehatan itu penting. Akan tetapi, perlu juga dipikirkan bagaimana membangun infrastruktur teknologi dan sistem informasi di daerah. Ini yang mungkin luput dari Bawaslu RI dalam merumuskan rekomendasi IKP yang telah dilaunching. Lima point yang di rumuskan tidak sedikitpun bicara mengenai dorongan pembangunan infrastruktur teknologi dan sistem informasi penyelenggara pemilu. Padahal dimensi ini memiliki kerawanan yang tinggi.
Kita belum tiba pada tahapan kampanye, model kampanye dimasa covid tentu akan berbeda dengan sebelumnya. Jika rapat umum atau kampanye tatap muka itu tidak dimungkinkan karena pertimbangan wabah covid – 19, otomatis diperlukan sarana alternatif. Berkaca pengalaman pemilu Korea Selatan misalnya, kampanye dilakukan melalui via daring dan media sosial. Apabila indonesia merujuk ke situ maka mau tidak mau kemampuan teknologi dan informasi kembali menjadi sandaran utama.
Semoga saja persoalan ini bisa menjadi rekomendasi pada launching IKP di bulan september nanti dengan Dimensi Kontestasi.
Manado, Juni 2020.
Zainudin Pai
( Divisi Demokrasi dan Kepemiluan Netfid Sulawesi Utara)
Sumber : www.idntimes.com/news/indeks-kerawanan-pemilu-saat-pilkada-2020-meningkat.
Leave a Reply